Makalah Fiqih Kelas 12 - Zahir, Takwil, Nasikh & Mansukh
MAKALAH FIQIH KELAS 12
ZAHIR, TAKWIL, NASIKH DAN MANSUKH
DISUSUN OLEH KELOMPOK 5
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna pencipta dan penguasa segalanya.
Karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini
sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah tentang “Kaidah Ushul Fiqih 3 tentang zahir, takwil, nasikh dan
Mansukh”, Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa
berguna dan ada manfaatnya bagi kita semua. Amiin.
Tak lupa pula penyusun sampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dalam proses
penyusunan tugas makalah ini, karena penulis sadar sebagai makhluk sosial
penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi dengan orang lain dan
tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari –Nya.
Akhirnya walaupun penulis telah berusaha
dengan secermat mungkin. Namun sebagai manusia biasa yang tak mungkin luput
dari salah dan lupa. Untuk itu penulis mengharapkan koreksi dan sarannya semoga
kita selalu berada dalam lindungan-Nya.
Cicurug, 2014
`
Penyusun,
Kelompok V
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Dari awal
hingga akhir, al-Qur'an merupakan
kesatuan utuh. Tak ada
pertentangan satu dengan
lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an
yufassir-u ba'dhuhu ba'dha([1][1]).
Dari segi kejelasan,
ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi
setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi
yang bisa berbahasa
Arab. Ketiga, cukup jelas bagi
ulama/para ahli, dan keempat, hanya
Allah yang mengetahui maksudnya([2][2]).
Dalam al-Qur'an
dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab([3][3]) yang sudah
mempunyai kekuatan hokum tetap.
Ketentuan-ketentuan induk itulah
yang senantiasa harus menjadi
landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan
dengan sistematisasi
interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan
antara ketentuan
undang-undang yang hendak
ditafsirkan dengan
ketentuan-ketentuan lainnya dari
undang-undang tersebut
maupun undang-undang lainnya
yang sejenis, yang
harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara
satu ayat dengan
ayat lainnya.
Hal ini
untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem
dan teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan
satu unsur lain yang tidak kalah
pentingnya. Itulah unsur sejarah
yang melatarbelakangi terbentuknya
suatu undang-undang, yang biasa dikenal "interpretasi
historis."
Dalam ilmu tafsir ada yang
disebut asbab al-nuzul,
yang mempunyai unsur historis
cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir
memberi tempat yang
cukup tinggi terhadap pengertian ayat
al-Qur'an. Dalam konteks
sejarah yang menyangkut
interpretasi itulah kita
membicarakan masalah zahir-takwil
dan nasikh-mansukh.
B. Rumusan Masalah
1. Pemahaman tentang zahir dan takwil
2. Pemahaman tentang Nasikh dan
mansukh
BAB II
PEMBAHASAN
A. ZAHIR
1. Pengertian Zahir dan Contohnya
Zahir menurut bahasa berarti
jelas, sedangkan menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya
menunjukkan kepada suatu arti tanpa memerlukan keterangan lain di luar lafadz
itu.
Contoh Zahir:
Firman Allah SWT yang artinya:
“Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah /2: 275)
Ayat tersebut secara zahir
menjelaskan halalnya jual beli dan haramnya riba tanpa memerlukan keterangan
atau penjelasan lain.”
B. TAKWIL
1. Pengertian Takwil dan
contohnya
Takwil secara bahasa berarti
berbelok atau berpaling apabila kembali. Menurut istilah adalah memalingkan
arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/bukti,
sehingga menjadi lebih jelas.
Contoh Takwil :
seperti lafadz يَدٌ (tangan),
lafadz ini bisa diartikan kepada tangan atau makna yang lain yaitu kekuasaan.
Agar lafadz tersebut menjadi
jelas, maka masih diperlukan keterangan lain, sehingga tidak menyimpang dari
makna zahirnya.
2. Syarat-syarat Takwil
Takwil harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a) Takwil harus sesuai dengan kaidah-kaidah
bahasa dan sastra Arab.
b) Takwil harus sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syara’
c) Takwil harus dapat menunjukkan dalil
(alasan) tentang takwilnya itu.
d) Jika takwil berdasarkan qiyas haruslah memakai
qiyas yang jelas dan kuat.
3. Kaidah berhubungan dengan Takwil
الفُرُوْعُ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ اتِّفَاقًا
Artinya : “Masalah cabang (furu’) dapat dimasuki takwil berdasarkan
konsensus.”
الاُصُوْلُ لاَ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ
Artinya : “Masalah ushuluddin (akidah) tidak dapat menerima takwil.”
4. Objek Takwil
Kajian takwil kebanyakan adalah
furu’ selain itu juga hal-hal yang jelas dan nash. Kajian takwil tidak mencakup
nash-nash yang qath’i baik khusus maupun umum, tidak menyangkut hukum-hukum
agama penting lainnya yang mudah ataupun sulit yang dipahami yang merupakan
dasar-dasar syari’at, dan tidak mencakup peraturan-peraturan syari’at yang
bersifat umum, demikian pula tidak mencakup muzmal yang ditafsirkan dengan
dalil-dalil qath’i. Takwil juga tidak membahas lafazh-lafazh yang musytarak,
karena lafazh musytarak merupakan lafazh yang ditetapkan untuk dua arti atau
lebih yang dilakukan dengan sengaja berdasarkan hakikatnya.
5. Dalil-dalil penunjang takwil
Takwil pada dasarnya mencakup
arti yang lemah yang memerlukan dalil untuk memperkuat praduga hasil takwil
tersebut, sehingga artinya kuat, sehingga dalil penunjangnya harus lebih kuat
daripada dalil penunjang arti secara bahasa.
Semua dalil yang digunakan harus
sesuai dengan syara’ dan dianggap hujjah dalam syara’.
Dalil-dalil yang dipakai dalam takwi adalah sebagai berikut:
1. Nash yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah
2. Ijma’
3. Kaidah-kaidah umum syariat yang siambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Kaidah-kaidah Fiqh yang menetapkan bahwa pembentuk syariat memperhatikan
hal-hal yang bersifat juz’i tanpa batas
5. Hakikat kemaslahatan umat
6. Adat yang diucapkan dan diamalkan
7. hikmah syariat atau tujuan syariat itu sendiri, yang terkadang berupa
maksud yang berhubungan dengan kemashlahatan, perekonomian, politik, dan akhlak
8. Qiyas
9. Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu (takwil qarib)
10. Kecendrungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai tujuan dan
merupakan dasar umum dalam pembinaan syariat yang bersifat ijtihadi, atau
ijtihad dengan ra’yu.
6. Takwil dihasilkan dari perubahan makna bukan
perubahan Lafazh
Setiap mujtahid diharuskan untuk
berpegang teguh pada arti zahir yang kuat dan tidak boleh mengamalkan
berdasarkan arti lainnya yang dipandang lemah, meskipun sama-sama benar, selama
tidak ada dalil lain yang kuat dan sahih.
Landasan Takwil
Landasan umum takwil adalah
mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya dan mengambil ketetapan hukumnya. Takwil
itu mencakup berbagai kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari
bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan dalil.
Untuk menghindarkan dari
kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-istimbath hukum dari nash
dengan menggunakan takwil
ì jika arti nash itu sudah tentu
mengandung hukum, jelas dan dalalahnya qath’i, maka tidak boleh ditakwilkan
dengan akal.
ì Jika arti nash yang zahir itu
berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti, wajib mengamalkan sesuai
maknanya.
ì Dibolehkan mengubah arti dari
yang zahir kepada arti yang lain sepanjang berdasar pada dalil, bahkan
diwajibkan untuk untuk mengompromikan berbagai nash yang saling bertentangan.
7. Masalah yang dapat ditakwil
Para Ulama’ sepakat bahwa
masalah-masalah yang bersifat furu’ (cabang) dapat menerima takwil. Sedangkan
masalah-masalah ushul (pokok) atau aqidah terdapat perbedaan pendapat.
a) Golongan Musyabbihah berpendapat bahwa masalah-masalah yang
berhubungan dengan aqidah tidak perlu ditakwilkan karena sudah jelas dan
berlaku menurut zahir, seperti mengartikan tangan Allah SWT disamakan dengan
tangan manusia / makhluk-Nya.
b) Golongan salaf seperti Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
masalah-masalah ushul atau aqidah dapat ditakwilkan, tapi takwilnya diserahkan
kepada Allah SWT. jadi, menurut pendapat ini Allah SWT memang bertangan tetapi
tangan Allah SWT itu berbeda dengan tangan makhluk-Nya, karena hakekatnya yang
paling tahu adalah Allah.
c) Golongan Khalaf berpendapat bahwa boleh mentakwilkan dan
pentakwilannya dilakukan oleh manusia sendiri, seperti mengartikan “tangan
Allah” ditakwilkan dengan “kekuasaan Allah”, “mata Allah” ditakwilkan dengan
“pengawasan Allah”, dan “Allah SWT bersemayam di Arsy” ditakwilkan dengan
“Allah SWT berkuasa di Arsy”, dan sebagainya.
C.
NASIKH DAN
MANSUKH
1.
Pengertian dan contoh Nasikh dan Mansukh
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi kata Naskh ini
dipakai untuk beberapa
pengertian: pembatalan, penghapusan, pemindahan dan pengubahan. Menurut
Abu Hasyim, pengertian majazinya
ialah pemindahan atau pengalihan
Sedangkan dari
segi terminologis nasikh adalah
penghapus syar’i terhadap suatu hukum ialam dengan suatu dalil syar’i yang
datang kemudian.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh
sebagai dalil syar'I yang ditetapkan kemudian, tidak hanya untuk ketentuan/hokum yang mencabut ketentuan/hukum
yang sudah berlaku sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang
dinyatakan berakhirnya masa pemberlakuannya, sejauh
hukum tersebut tidak dinyatakan
berlaku terus menerus, tapi juga mencakup pengertian pembatasan
(qaid) bagi suatu pengertian bebas (muthlaq). Juga
dapat mencakup pengertian
pengkhususan (makhasshish)
terhadap suatu pengertian umum
('am). Bahkan juga pengertian pengecualian
(istitsna). Demikian pula pengertian syarat dan sifatnya.
Sebaliknya ulama
mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut
untuk mempertajam perbedaan
antara nasikh dan makhasshish atau muqayyid, dan lain
sebagainya, sehingga pengertian naskh
terbatas hanya untuk
ketentuan hukum yang datang kemudian, untuk mencabut atau
menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan ketentuan
hukum yang terdahulu, sehingga
ketentuan yang diberlakukan
ialah ketentuan yang ditetapkan
terakhir dan menggantikan ketentuan yang mendahuluinya. Dengan demikian
tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari satu
pengertian, dan di lain
pihak -dalam perkembangan
selanjutnya- naskh membatasinya hanya pada satu pengertian([4][7]).
Contoh Nasikh :
Berdasarkan sabda nabi Muhammad
SAW. Yang artinya:
“Aku pernah melarangmu zairah
kubur, maka sekarang berzairahlah ke kubur”.
[H.R. Muslim dan Abu Dawud]
|
D.
PERBEDAAN ANTARA NASAKH, TAKHSHIS DAN BADA'
Terdapat
perbedaan diametral antara Ibnu Katsir, al Maghrabidan Abu Muslim al Ashfahani[5][8] dalam memandang
persoalan nasakh. Ibnu Katsir dan al Maghrabi menetapkan adanya pembatalan hUkum
dalam al quran. Namun dengan tegas, al Ashfahani menyatakan bahwaal quran tidak
pernah disentuh "pembatalan"[6][9] meskipun
demikian, pada umumnya, dia sepakat tentang:
1. Adanya pengecualian hokum yang bersifat
umum oleh hokum yang sefesifik yang datang kemudian;
2.
Adanya penjelasn susulan terhadap hokum terdahulu yang ambigius;
3.
Adanya penetapan syarat terhadap hokum yang terdahulu yang belum bersyarat.
Ibnu Katsir dan
al Maghrabi memandang ketiga hal diatas sebagai nasakh, sedangkan al Ashfahani
memandangnya sebagai takhshis.[7][10] Tampaknya al
Ashfahani menegaskan pendapatnya bahwa tidak ada nasakh dalam al quran.
Kalaupun didalam al quran terdapat cakupan hokum yang bersifat umum, untuk
mengklasifikasinya dapat dilakukan proses pengkhushusan(takhshis).
Dengan demikian takhshis, menurutnya dapat diartikan sebagai
"mengeluarkan sebagian satuan (afrad) dari satuan-satuan yang
tercakup dalam lafad 'amm"[8][11]
Bertolak dari
pengertian nasakh dan takhshis tersebut diatas, perbedaan
prinsipil antara keduanya bisa dijelaskan sebagai berikut:
NASAKH
|
TAKHSHIS
|
||
1. Satuan yang terdapat dalam Nasakh
bukan merupakan bagian satuan yang tedapat dalam Mansukh.
2. Nasakh adalah menghapuskan hokum dari
seluruh satuan yang tercakup dalam dalil mansukh.
3.
4. Nasakh adanya menghapuskan hubungan Mansukh
dalam rentang waktu yang tidak terbatas.
5. Setelah terjadi nasakh, seluruh
satuan yang terdapat dalam nasikh tidak terikat dengan hokum yang tedapat
dalam mansukh.
|
1. Satuan yang tedapat dalam
takhshis merupakan sebagian dari satuan yang terdapat dalam lafadz 'aam.
2. Takhshis adalah merupakan hokum dari
sebagian satuan yang tercakup dalam dalil 'aam.
3. Takhshis dapat terjadi baik dengan dalil
yang kemudian maupun menyertai dan mendahuluinya.
4. Takhshis tidak menghapuskan hokum
'aam sama sekali. Hokum 'aam tetap berlaku meskipun sudah
dikhushuskan.
5. Setelah terjadi Takhshis, sisa
satuan yang terdapat pada 'aam tetap terikat oleh dalil áam.
|
Adapun Bada',
menurut sumber-sumber kamus yang masyhur, adalah Azh-Zhuhur ba'da al Khofa' (
menampakkan setelah bersembunyi). Definisi ini tersirat dalam firman Allah SWT.
Surat al Jatsiyah,45:33, yang artinya :
33. dan nyatalah bagi mereka
keburukan-keburukan dari apa yang mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh
(azab) yang mereka selalu memperolok-olokkannya.
Arti bada' yang lain adalah "nasy'ah ra'yin jaded lam yaku maujud"
(munculnya pemikiran baru setelah sebelumnya tidak terlintas). Definisi inipun
tersirat dalam firman Allah SWT. Pada surat yusuf, yang artinya :
35. kemudian timbul pikiran pada
mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus
memenjarakannya sampai sesuatu waktu[Setelah mereka melihat kebenaran Yusuf,
Namun demikian mereka memenjarakannya agar sapaya jelas bahwa yang bersalah
adalah Yusuf; dan orang-orang tidak lagi membicarakan hal ini.].
Dari kedua
definisi tersebut, kita bisa melihat perbedaan yang sangat jelas antaranya
dengan hakikat nasakh. Dalam bada' , timbulnya hokum yang baru
disebabkan oleh ketidak tahuan sang pembuat hokum akan kemungkinan humunculnya
hokum baru itu. Ini tentu berbeda dengan nasakh, sebab dalam nasakh,
bagi ulama yang mengakui keberadaannya, Allah SWT. Mengetahui nasikh dan
mansukh sejak zaman azali, sebelum hokum-hukum itu diturunkan kepada
manusia.
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur'an merupakan kesatuan
utuh. Tak ada pertentangan
satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan
al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu
ba'dha. Kitab Suci yang terdiri dari 6000 ayat lebih dan terbagi dalam
114 kelompok surat, mengandung
berbagai jenis pembicaraan dan persoalan.
Adanya nasikh-mansukh tidak
dapat dipisahkan dari
sifat turunnya al-Qur'an itu
sendiri dan tujuan
yang ingin dicapainya.
Dapat
diambil beberapa pengertian dari :
ISTILAH
|
PENGERTIAN
|
´Ü Zahir
|
Suatu lafal
yang jelas dalalahnya menunjukan kepada suatu arti asal tanpa membutuhkan
faktor lain di luar lafal itu.
|
´Ü Takwil
|
memalingkan
lafal dari makna zahirnya kepada makna yang lain dan memungkinkan baginya
berdasarkan dalil, baik berupa nash, qiyas, ijma maupun prinsip-prinsip umum
bagi pembinaan hukum, sehingga menjadi jelas.
|
´Ü Nasikh
|
Lafal yang menghapuskan hukum itu sendiri yang berkaitan dengan
mansukh.
|
´Ü Mansukh
|
Hukum yang telah dihapuskan.
|
Ë Masalah yang dapat ditakwil
Para Ulama’ sepakat bahwa
masalah-masalah yang bersifat furu’ (cabang) dapat menerima takwil. Sedangkan
masalah-masalah ushul (pokok) atau aqidah terdapat perbedaan pendapat.
a) Golongan Musyabbihah berpendapat bahwa masalah-masalah yang
berhubungan dengan aqidah tidak perlu ditakwilkan karena sudah jelas dan
berlaku menurut zahir, seperti mengartikan tangan Allah SWT disamakan dengan
tangan manusia / makhluk-Nya.
b) Golongan salaf seperti Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
masalah-masalah ushul atau aqidah dapat ditakwilkan, tapi takwilnya diserahkan
kepada Allah SWT. jadi, menurut pendapat ini Allah SWT memang bertangan tetapi
tangan Allah SWT itu berbeda dengan tangan makhluk-Nya, karena hakekatnya yang
paling tahu adalah Allah.
c) Golongan Khalaf berpendapat bahwa boleh mentakwilkan dan
pentakwilannya dilakukan oleh manusia sendiri, seperti mengartikan “tangan
Allah” ditakwilkan dengan “kekuasaan Allah”, “mata Allah” ditakwilkan dengan
“pengawasan Allah”, dan “Allah SWT bersemayam di Arsy” ditakwilkan dengan
“Allah SWT berkuasa di Arsy”, dan sebagainya.
B. SARAN
Kami dari kelompok V berharap agar makalah yang kami buat ini bisa berguna bagi pembaca, dan
dapat menjadi panduan dalam belajar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Idrus bin Ali bin Abdul kadir
bin Hasan al-Jufri, http://idrusali85.wordpress.com/2007/08/08/masalah-ijtihad-ijtihad-istinbathi-dan-ijtihad-tathbiqi/
4. Khallaf, Syekh Abdul Wahab,
Ilmu Ushul Fiqh, Rineka Cipta, Jakarta, 2005
5. Syafe’i, Prof. DR. Rahmat.
Ilmu Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, 1999.
6. Sumber-sumber lain.
Komentar
Posting Komentar